Politik Dewasa ini kita menyaksikan hubungaan antara Ulama dan Umaro seolah seperti dua kutub yang frontal dan kontras satu sama lain baik secara ikatan emosional maupun kultural, dimana perbedaan ini nyaris tidak di jumpai di era Nabi SAW dan generasi generasi awal Islam, Yakni ketika seorang figur yang menjabat sebagai pemerintah adalah figur yang menyandang gelar Ulama itu sendiri. Demikian juga sebaliknya, seorang Ulama sekaligus Umara di waktu itu dan tidak pernah menjadi dua kubu yang saling kontrofersi.
Terlepas dari sugesti Sosio- Politik yang mempengaruhi perbedaan dua kubu tersebut, perbedaan ini semakin tampak exstrimdan kritis ketika kita melihat dalam beberapa fatwanya. Para Fuqoha lebih lebih para ulama tasawwuf melontarkan agar menjauhi ranah perpolitikan seperti pernyataan bahwa dunia politik adalah Madhinah Al-fitnah, klaim subhat terhadap sumbangan sumbangan politis dan lain sebagainya. Kita juga bisa menjumpai pujian pujian ulama kepada para tokoh tokkoh yang memiliki track record menjauh dari umara dalam hidupnya. Secara implisit, sikap dan fatwa ulama demikian mau tidak mau akan memunculkan opini bahwa dunia politik adalah ranah kehidupan yang aib untuk di terjuni. Fatwa fatwa yang boleh jadi di anggap provokatif oleh sebagian pihak inianeh jika kemudian menjadi justifikasi dan penegas persepsi umum bahwa Umara dan Ulama adalah Dua kubu yang Hitam dan Putih. persepsi umum ini bisa kita buktikan dari ucapan sederhana namuncukup sinis yang kerap kita dengar " Kyai kok berpolitik" dan lain sebagainya.
Sementara itu dalam khazanah fiqih siyasah kita mengetahui bahwa hakikat dari misi politik adalah Ri'ayah li al mashalihil ibad (demi terciptanya kemaskahatan kehidupan umat), yang notabene secara hukum adalah kewajiban. Bagaimana dengan kontradiksi ini?
Apasih landasan riil dari fatwa fatwa terkait untuk menjauhi dunia politik?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas alangkah baiknya kita pahami dulu pengertian politik atau siyasah Islam.
Definisi Siyasah Islamiyah (Politik )
Dalam kitab Muqodimah,Ibnu Kholdun mengelaborasi tipologi politik menjadi tiga level : Al MULK AT- THOBI'I, AS- SIYASI, dan AL-KHILAFAH .
1. Al MULK AT- THOBI'I
Al Mulk At-Thobi'i adalah sebuah sistem pemerintahan yang orientasi kebijakanya sangat dominan dipengaruhi oleh karakter dasar manusia, yaitu ambisi kekuasaan dan keserakahan. Ibnu Khaldun menyatakan:
" Sesungguhnya Al Mulk At-Thobi'i adalah mobilitas umum berdasarkan ambisi kekuasaan dan keserakahan.
2. AS- SIYASI
As- Siyasi Aadalah sistem pemerintahan yang orientasi kebijakanya sangat dominan dan di pengaruhi oleh kecakapanIntelektualitas dan atau rasionalitas. Ibnu Khaldun mendifinisikan As- Siyasi sebagai berikut:
" As- Siyasi adalah mobilitas umum atau masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan pertimbangan rasional untuk menciptakan kemaslahatan serta menghindari madharat dalam kehidupan duniawi.
3. AL-KHILAFAH
Al- Khilafah adalah mobilitas umum yang berdasarkan pandangan syari'at untuk meraih kemaslahatan duniawi dan ukhrowi
Karakter ketiga inilah yang di maksud Ibnu Khaldun sebagai representasi dari definisi politik Islam senada dengan ibnu kholdun ulama khanafiyah juga mendefinisikan politik atau siyasah sebagai upaya membangun kemaslahatan masyarakat di dunia dan akhirat . dari definisi siyasah diatas tidak bisa di pahami secara sempit bahwa politik islam adah berupa negara agama yang menerapkan hukum hukum islam secara formal, melainkan harus dipahami secara longgar bahwa, dalam politik islam, agama dijadikan ruh atau nilai nilai dan etika sosial . dalam kaitanya dengan hal ini Imam Syafi'i menyatakan :
"Tidak ada politik kecuali yang sesuai dengan Syari'at".
Ibn Qoyyim Al-Jauziyah merespon statemen Imam Syafi'i di dalam kitab at- Thuruq al- hukmy fi as-siyasah dengan ungkapan:
" Jika yang dimaksud adalah sistem politik tidak bertolak belakang dengan nilai nilai universal ( Maqosidus Syari'ah )maka itu benar. Akan tetapi, jika ungkapan tersebut diartikan tidak ada politik kecuali sesuai dengan syari'at secara tekstual maka hal itu adalah sebuah kekeliruan".
Setelah memahami definisi politik islam dari sebagian pendapat Ulama diatas bahwa politik islam memiliki spirit agung yang di cita citakan islam itu sendiri yaitu Menciptakan tatanan masyarakat yang madani yaitu suatu bentuk pencapaian kehidupan manusia dalam aspek pemikiran, jasmani, dan rohani yang di atur seperangkat hukum dan mempunyai tingkat kebudayaan serta peradaban yang tinggi.
Namun demikian, ada apa dengan dunia politik hari ini kita kembali pada pertanyaan di awal mengapa banyak ulama yang berfatwa untuk menjauhi dunia perpolitikan dan klai subhat uang yang di peroleh dari politik?
Apasih landasan riil dari fatwa fatwa terkait untuk menjauhi dunia politik?
Dalam Ikhya ulumiddinya Imam Al Ghazali melandasinya dengan
dalil hadist tentang anjuran untuk menjauhi dunia kepolitikan yang tidak bisa lepas dari kedholiman serta pelakunya akan melakukan kedzoliman tersebut diantar landasan dalil tersebut adalah khabar Atau hadist
IHYA ULUMIDDIN JUZ 2 HAL (490)
ﺃﻣﺎ اﻷﺧﺒﺎﺭ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻤﺎ ﻭﺻﻒ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻷﻣﺮاء اﻟﻈﻠﻤﺔ ﻗﺎﻝ ﻓﻤﻦ ﻧﺎﺑﺬﻫﻢ ﻧﺠﺎ ﻭﻣﻦ اﻋﺘﺰﻟﻬﻢ ﺳﻠﻢ ﺃﻭ ﻛﺎﺩ ﺃﻥ ﻳﺴﻠﻢ ﻭﻣﻦ ﻭﻗﻊ ﻣﻌﻬﻢ ﻓﻲ ﺩﻧﻴﺎﻫﻢ ﻓﻬﻮ ﻣﻨﻬﻢ (¬1)
ﻭﺫﻟﻚ ﻷﻥ ﻣﻦ اﻋﺘﺰﻟﻬﻢ ﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﺇﻣﻤﻬﻢ ﻭﻟﻜﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﻠﻢ ﻣﻦ ﻋﺬاﺏ ﻳﻌﻤﻪ ﻣﻌﻬﻢ ﺇﻥ ﻧﺰﻝ ﺑﻬﻢ ﻟﺘﺮﻛﻪ اﻟﻤﻨﺎﺑﺬﺓ ﻭاﻟﻤﻨﺎﺯﻋﺔ
ﻭﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺳﻴﻜﻮﻥ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻱ ﺃﻣﺮاء ﻳﻜﺬﺑﻮﻥ ﻭﻳﻈﻠﻤﻮﻥ ﻓﻤﻦ ﺻﺪﻗﻬﻢ ﻳﻜﺬﺑﻬﻢ ﻭﺃﻋﺎﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﻇﻠﻤﻬﻢ ﻓﻠﻴﺲ ﻣﻨﻲ ﻭﻟﺴﺖ ﻣﻨﻪ ﻭﻟﻢ ﻳﺮﺩ ﻋﻠﻲ اﻟﺤﻮﺽ (¬2)
ﻭﺭﻭﻯ ﺃﺑﻮ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺑﻐﺾ اﻟﻘﺮاء ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺰﻭﺭﻭﻥ اﻷﻣﺮاء (¬3)
ﻭﻓﻲ اﻟﺨﺒﺮ ﺧﻴﺮ اﻷﻣﺮاء اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺄﺗﻮﻥ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻭﺷﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺄﺗﻮﻥ اﻝﺃﻣﺮاء
ﻭﻓﻲ اﻟﺨﺒﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﺃﻣﻨﺎء اﻟﺮﺳﻞ ﻋﻠﻰ ﻋﺒﺎﺩ اﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﺨﺎﻟﻄﻮا اﻟﺴﻠﻄﺎﻥ ﻓﺈﺫا ﻓﻌﻠﻮا ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺪ ﺧﺎﻧﻮا اﻟﺮﺳﻞ ﻓﺎﺣﺬﺭﻭﻫﻢ ﻭاﻋﺘﺰﻟﻮﻫﻢ (¬4)
ﺭﻭاﻩ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
IHYA ULUMIDDIN JUZ 1 HAL (67)
ﻭﺃﻣﺎ ﻏﻴﺮﻩ ﻓﻼ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺎﻟﺘﻌﺮﻳﺞ ﻋﻠﻰ اﻟﺘﻨﻌﻢ ﺑﺎﻟﻤﺒﺎﺡ ﺧﻄﺮ ﻋﻈﻴﻢ ﻭﻫﻮ ﺑﻌﻴﺪ ﻣﻦ اﻟﺨﻮﻑ ﻭاﻟﺨﺸﻴﺔ ﻭﺧﺎﺻﻴﺔ ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ اﻟﺨﺸﻴﺔ ﻭﺧﺎﺻﻴﺔ اﻟﺨﺸﻴﺔ اﻟﺘﺒﺎﻋﺪ ﻣﻦ ﻣﻈﺎﻥ اﻟﺨﻄﺮ
ﻭﻣﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﺴﺘﻘﺼﻴﺎ ﻋﻦ اﻟﺴﻼﻃﻴﻦ ﻓﻼ ﻳﺪﺧﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﻟﺒﺘﺔ ﻣﺎ ﺩاﻡ ﻳﺠﺪ ﺇﻟﻰ اﻟﻔﺮاﺭ ﻋﻦﻫﻢ ﺳﺒﻴﻼ ﺑﻞ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺤﺘﺮﺯ ﻋﻦ ﻣﺨﺎﻟﻄﺘﻬﻢ ﻭﺇﻥ ﺟﺎءﻭا ﺇﻟﻴﻪ ﻓﺈﻥ اﻟﺪﻧﻴﺎ ﺣﻠﻮﺓ ﺧﻀﺮﺓ ﻭﺯﻣﺎﻣﻬﺎ ﺑﺄﻳﺪﻱ اﻟﺴﻼﻃﻴﻦ
ﻭاﻟﻤﺨﺎﻟﻂ ﻻ ﻳﺨﻠﻮ ﻋﻦ ﺗﻜﻠﻒ ﻓﻲ ﻃﻴﺐ ﻣﺮﺿﺎﺗﻬﻢ ﻭاﺳﺘﻤﺎﻟﺔ ﻗﻠﻮﺑﻬﻢ ﻣﻊ ﺃﻧﻬﻢ ﻇﻠﻤﺔ
ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺘﺪﻳﻦ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﺗﻀﻴﻴﻖ ﺻﺪﺭﻫﻢ ﺑﺈﻇﻬﺎﺭ ﻇﻠﻤﻬﻢ ﻭﺗﻘﺒﻴﺢ ﻓﻌﻠﻬﻢ ﻓﺎﻟﺪاﺧﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺇﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﻠﺘﻔﺖ ﺇﻟﻰ ﺗﺠﻤﻠﻬﻢ ﻓﻴﺰﺩﺭﻱ ﻧﻌﻤﺔ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻭ ﻳﺴﻜﺖ ﻋﻦ اﻹﻧﻜﺎﺭ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻴﻜﻮﻥ ﻣﺪاﻫﻨﺎ ﻟﻬﻢ ﺃﻭ ﻳﺘﻜﻠﻒ ﻓﻲ ﻛﻼﻣﻪ ﻛﻼﻣﺎ ﻟﻤﺮﺿﺎﺗﻬﻢ ﻭﺗﺤﺴﻴﻦ ﺣﺎﻟﻬﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﻫﻮ اﻟﺒﻬﺖ اﻟﺼﺮﻳﺢ ﺃﻭ ﺃﻥ ﻳﻄﻤﻊ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻳﻨﺎﻝ ﻣﻦ ﺩﻧﻴﺎﻫﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﻫﻮ اﻟﺴﺤﺖ ﻭﺳﻴﺄﺗﻲ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ اﻟﺤﻼﻝ ﻭاﻟﺤﺮاﻡ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﺃﻣﻮاﻝ اﻟﺴﻼﻃﻴﻦ ﻭﻣﺎ ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻣﻦ اﻹﺩﺭاﺭ ﻭاﻟﺠﻮاﺋﺰ ﻭﻏﻴﺮﻫﺎ
ﻭﻋﻠﻰ اﻟﺠﻤﻠﺔ ﻓﻤﺨﺎﻟﻄﺘﻬﻢ ﻣﻔﺘﺎﺡ ﻟﻠﺸﺮﻭﺭ ﻭﻋﻠﻤﺎء اﻵﺧﺮﺓ ﻃﺮﻳﻘﻬﻢ اﻻﺣﺘﻴﺎﻁ
IHYA ULUMIDDIN JUZ 1 HAL (224)
ﻟﺜﺎﻟﺜﺔ ﺃﻥ ﻳﻨﻈﺮ ﻓﻴﻤﺎ ﻳﺄﺧﺬﻩ ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﺣﻞ ﺗﻮﺭﻉ ﻋﻨﻪ {ﻭﻣﻦ ﻳﺘﻖ اﻟﻠﻪ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ ﻣﺨﺮﺟﺎ ﻭﻳﺮﺯﻗﻪ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻻ ﻳﺤﺘﺴﺐ}
ﻭﻟﻦ ﻳﻌﺪﻡ اﻟﻢﺗﻮﺭﻉ ﻋﻦ اﻟﺤﺮاﻡ ﻓﺘﻮﺣﺎ ﻣﻦ اﻝﺣﻞاﻝ ﻓﻼ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﺃﻣﻮاﻝ اﻷﺗﺮاﻙ ﻭاﻟﺠﻨﻮﺩ ﻭﻋﻤﺎﻝ اﻟﺴﻼﻃﻴﻦ ﻭﻣﻦ ﺃﻛﺜﺮ ﻛﺴﺒﻪ ﻣﻦ اﻟﺤﺮاﻡ ﺇﻻ ﺇﺫا ﺿﺎﻕ اﻷﻣﺮ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻣﺎ ﻳﺲﻟﻢ ﺇﻟﻴﻪ ﻻ ﻳﻌﺮﻑ ﻟﻪ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﻣﻌﻴﻨﺎ ﻓﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﺑﻘﺪﺭ اﻟﺤﺎﺟﺔ ﻓﺈﻥ ﻓﺘﻮﻯ اﻟﺸﺮﻉ ﻓﻲ ﻣﺜﻞ ﻫﺬا ﺃﻥ ﻳﺘﺼﺪﻕ ﺑﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺳﻴﺄﺗﻲ ﺑﻴﺎﻧﻪ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ اﻟﺤﻼﻝ ﻭاﻟﺤﺮاﻡ ﻭﺫﻟﻚ ﺇﺫا ﻋﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﺤﻼﻝ ﻓﺈﺫا ﺃﺧﺬ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺃﺧﺬﻩ ﺃﺧﺬ ﺯﻛﺎﺓ ﺇﺫ ﻻ ﻳﻘﻊ ﺯﻛﺎﺓ ﻋﻦ ﻣﺆﺩﻳﻪ ﻭﻫﻮ ﺣﺮاﻡ
اﻟﺮاﺑﻌﺔ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﻗﻰ ﻣﻮاﻗﻊ اﻟﺮﻳﺒﺔ ﻭاﻻﺷﺘﺒﺎﻩ ﻓﻲ ﻣﻘﺪاﺭ ﻣﺎ ﻳﺄﺧﺬﻩ ﻓﻼ ﻳﺄﺧﺬ ﺇﻻ اﻟﻢﻗﺪاﺭ اﻟﻢﺑﺎﺡ ﻭﻻ ﻳﺄﺧﺬ ﺇﻻ ﺇﺫا ﺗﺤﻘﻖ ﺃﻧﻪ ﻣﻮﺻﻮﻑ ﺑﺼﻔﺔ اﻻﺳﺘﺤﻘﻘﺎ ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﺄﺧﺬﻩ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻭاﻟﻐﺮاﻣﺔ ﻓﻼ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺪاﺭ اﻟﺪﻳﻦ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﺑﺎﻟﻌﻤﻞ ﻓﻼ ﻳﺰﻳﺪ ﻋﻠﻰ ﺃﺟﺮﺓ اﻟﻢﺛﻞ ﻭﺇﻥ ﺃﻋﻄﻰ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﺃﺑﻰ ﻭاﻣﺘﻨﻊ ﺇﺫ ﻟﻴﺲ اﻟﻢاﻝ ﻟﻠﻤﻌﻄﻲ ﺣﺘﻰ ﻳﺘﺒﺮﻉ ﺑﻪ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﺴﺎﻓﺮا ﻟﻢ ﻳﺰﺩ ﻋﻠﻰ اﻟﺰاﺩ ﻭﻛﺮاء اﻟﺪاﺑﺔ ﺇﻟﻰ ﻣﻘﺼﺪﻩ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻏﺎﺯﻳﺎ ﻟﻢ ﻳﺄﺧﺬ ﺇﻻ ﻣﺎ ﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻪ ﻟﻠﻐﺰﻭ ﺧﺎﺻﺔ ﻣﻦ ﺧﻴﻞ ﻭﺳﻼﺡ ﻭﻧﻔﻘﺔ
ﻭﺗﻘﺪﻳﺮ ﺫﻟﻚ ﺑﺎﻻﺟﺘﻬﺎﺩ ﻭﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﺣﺪ ﻭﻛﺬا ﺯاﺩ اﻟﺴﻔﺮ ﻭاﻟﻮﺭﻉ ﺗﺮﻙ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺒﻪ ﺇﻟﻰ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺮﻳﺒﻪ
ﻭﺇﻥ ﺃﺧﺬ ﺑﺎﻟﻢﺳﻜﻨﺔ ﻓﻠﻴﻨﻈﺮ ﺃﻭﻻاﻟﻰ ﺃﺛﺎﺙ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﺛﻴﺎﺑﻪ